Artificial Ignorance: Kita Follow Asli, Mereka Balik Dengan Mode Robot Dingin


Lo Ngasih Hati, Dia Ngasih Algoritma. Selamat Datang di Era "Ketidaktahuan Artifisial"
Bro, lo pasti pernah ngerasain ini. Lo menemukan sebuah akun di LinkedIn atau Instagram. Bukan akun biasa. Karyanya, pemikirannya, atau cara dia bercerita benar-benar relate dengan lo di level yang mendalam. Lo merasa menemukan seorang panutan, seorang mentor tak langsung.
Dengan ketulusan hati seorang manusia, lo menekan tombol follow. Lo tidak berhenti di situ. Lo meluangkan waktu untuk membaca atau menonton karyanya, lalu memberikan sebuah komentar yang spesifik dan penuh apresiasi. Bukan sekadar "keren kak!", tapi komentar yang menunjukkan bahwa lo benar-benar menyimak. Lo bahkan membagikan karyanya ke lingkaran pertemanan lo, menjadi duta brand-nya secara sukarela. Lo sedang mengirimkan sebuah sinyal manusiawi yang paling otentik: "Hei, saya melihatmu, saya menghargai karyamu, kita terhubung."
Lalu, respons apa yang lo dapatkan? Seringkali, yang lo dapatkan adalah keheningan total. Atau yang lebih menyakitkan lagi, sebuah respons yang jelas-jelas bukan dari manusia. Mungkin sebuah like otomatis dari bot, atau sebuah balasan DM dari chatbot yang berbunyi: "Terima kasih atas pesan Anda! Tim kami akan segera menghubungi Anda."
Selamat datang di fenomena paling ironis di era Kecerdasan Buatan. Ini bukanlah Artificial Intelligence, ini adalah Artificial Ignorance—Ketidaktahuan Artifisial. Sebuah "kemampuan" yang dikembangkan oleh para brand (baik itu personal maupun korporat) untuk menggunakan teknologi-teknologi canggih bukan untuk membangun jembatan, melainkan untuk membangun sebuah tembok yang lebih tinggi, lebih dingin, dan lebih efisien. Mereka, pada dasarnya, telah berhasil mengotomatisasi proses pengabaian.
Di artikel super panjang ini, kita akan membedah dengan pisau yang sedikit lebih tajam, dengan nada yang sedikit lebih pedas, sindrom yang sedang mewabah ini. Kita akan identifikasi "spesies-spesies" pelaku Artificial Ignorance yang mungkin sering lo temui. Kita akan bongkar taktik-taktik robotik mereka yang mengikis kemanusiaan. Dan kita akan diskusikan kenapa di dunia yang terobsesi dengan AI, menjadi manusia seutuhnya—dengan segala kehangatan dan ketidaksempurnaannya—justru menjadi superpower yang paling langka dan paling disruptif.
The Hall of Shame: Mengenali Spesies-spesies Pelaku Artificial Ignorance
Jika lo cukup lama berkelana di hutan digital, lo pasti akan bertemu dengan "spesies-spesies" ini. Mereka adalah para maestro dalam menciptakan jarak, para ahli dalam membangun citra tanpa substansi.
The Broadcast Bot (Siaran Pers Berkedok Akun Pribadi)
Ini adalah spesies yang paling umum di kalangan para eksekutif atau "pemimpin pemikiran". Feed media sosial mereka pada dasarnya adalah papan pengumuman digital. Isinya hanya tiga hal: pengumuman pencapaian pribadi atau perusahaan, link ke artikel pers yang meliput mereka, dan foto-foto formal dari acara-acara seminar. Mereka tidak pernah bertanya, hanya memberitahu. Mereka tidak pernah berdialog, hanya berpidato. Kolom komentar mereka mungkin ramai, tapi mereka tidak akan pernah terlihat membalas satu pun komentar, kecuali mungkin dari sesama akun "centang biru" lainnya. Bagi mereka, media sosial bukanlah sebuah ruang percakapan, melainkan sebuah panggung satu arah.
The Engagement Pod Zombie (Arisan Jempol Palsu)
Spesies ini sedikit lebih licik. Dari luar, akun mereka terlihat sangat hidup. Setiap kali mereka memposting sesuatu, hanya dalam waktu lima menit, kolom komentar akan langsung dibanjiri dengan puluhan pujian. Tapi coba lo perhatikan baik-baik. Komentar-komentar itu seringkali terasa sangat generik dan mirip satu sama lain: "Sangat inspiratif!", "Setuju banget, Kak!", "Terima kasih sudah berbagi!", "Mantap!".
Ini adalah hasil dari sebuah praktik bernama engagement pod. Sekelompok orang yang setuju untuk saling me-like dan mengomentari postingan satu sama lain secara otomatis, hanya untuk menipu algoritma agar jangkauan mereka meningkat. Interaksi mereka 100% palsu. Mereka tidak benar-benar membaca atau peduli dengan kontennya. Ini adalah gotong royong ketidaktulusan yang dilembagakan.
The Guru on The Mountain (Sang Pertapa Digital yang Angkuh)
Spesies ini biasanya adalah para ahli atau konsultan yang telah mencapai tingkat popularitas tertentu. Mereka memposisikan diri sebagai seorang mahaguru yang bijaksana, yang berada di puncak gunung pengetahuan. Mereka akan dengan murah hati membagikan butiran-butiran nasihat tingkat tinggi dan kutipan-kutipan filosofis.
Konten mereka mungkin memang bermanfaat. Tapi, mereka tidak akan pernah "turun gunung" untuk berdialog atau berdebat dengan "rakyat jelata" di kolom komentar. Bagi mereka, menjawab pertanyaan atau mengakui ketidaktahuan akan "menurunkan" status mereka sebagai seorang ahli yang maha tahu. Interaksi dua arah dianggap sebagai sebuah kelemahan, bukan sebuah kekuatan.
The Automated Prince/Princess (Si Paling Sibuk dan Penting)
Ini adalah spesies yang paling jelas mengadopsi Artificial Ignorance. Mereka mungkin adalah influencer besar atau pebisnis yang sangat sibuk. Mereka sadar bahwa mereka tidak bisa mengabaikan DM atau email sama sekali. Jadi, mereka melakukan hal terburuk berikutnya: mengotomatiskannya. Semua DM yang masuk akan dijawab oleh chatbot. Semua email akan dibalas dengan auto-responder. Setiap interaksi dengan mereka terasa seperti sedang berbicara dengan mesin penjawab otomatis di telepon bank. Mereka secara efektif mengirimkan sebuah pesan yang jelas: "Lo tidak cukup penting untuk mendapatkan waktu dan perhatian dari seorang manusia."
"Kode Etik" Robotik Mereka: Taktik-taktik yang Mengikis Kemanusiaan
Di balik perilaku spesies-spesies di atas, ada beberapa taktik atau "kode etik" tak tertulis yang mereka jalankan.
- Otomatisasi Pengabaian: Ini bukan lagi sekadar tidak membalas. Mereka secara aktif menggunakan tools atau menyewa agensi untuk menyaring semua pesan yang masuk berdasarkan kriteria tertentu (misalnya, hanya membalas jika si pengirim punya lebih dari 10.000 followers), dan secara sistematis mengabaikan sisanya.
- Interaksi Terjadwal yang Dingin: Mereka mungkin punya jadwal di kalender mereka: "Selasa, 16:00 - 16:15: Balas Komentar Instagram". Selama 15 menit itu, mereka akan "turun gunung" dan membalas beberapa komentar dengan cepat, lalu setelah itu kembali hening selama seminggu. Interaksi mereka terasa seperti sebuah tugas yang harus dicentang, bukan sebuah percakapan yang tulus.
- Delegasi Kemanusiaan: Ini yang paling subtil. Mereka mungkin menyuruh asisten atau admin media sosial mereka untuk membalas semua komentar dan DM dengan menggunakan gaya bahasa yang meniru si pemilik akun. Dari luar terlihat personal, tapi di baliknya ada ketidakhadiran yang total.
- Keheningan sebagai Senjata (Weaponized Silence): Terkadang, pengabaian itu adalah sebuah strategi yang disengaja. Dengan sengaja tidak merespons atau membuat diri mereka sulit dijangkau, mereka mencoba untuk menciptakan sebuah aura eksklusivitas dan membuat orang lain merasa bahwa mendapatkan perhatian dari mereka adalah sebuah "hadiah".
Kenapa Ini Menjadi Masalah Besar? Dampak dari Ekosistem yang Dingin
"Ya sudahlah, itu kan hak mereka mau balas atau nggak." Tentu saja. Tapi ketika perilaku Artificial Ignorance ini menjadi norma dan bahkan dianggap sebagai tanda "kesuksesan", ia akan menciptakan sebuah ekosistem digital yang beracun.
- Devaluasi Engagement yang Tulus: Ketika interaksi-interaksi palsu dari engagement pod justru yang "dihadiahi" oleh algoritma dengan jangkauan yang lebih luas, maka interaksi yang benar-benar tulus dan mendalam menjadi terasa tidak ada harganya. Orang menjadi malas untuk memberikan komentar yang bermakna.
- Membunuh Dialog dan Lahirnya Echo Chamber Elitis: Ketika para "pemimpin pemikiran" hanya mau berbicara dengan orang-orang yang selevel dengan mereka, maka tidak akan pernah ada dialog atau debat yang sehat. Yang tercipta hanyalah gelembung-gelembung elitis (echo chambers) di mana semua orang hanya saling memvalidasi pemikiran satu sama lain.
- Krisis Kepercayaan Massal: Pada akhirnya, audiens tidak lagi tahu mana yang asli dan mana yang "dibuat" atau diotomatisasi. Rasa sinisme meningkat. Ini bukan lagi sekadar spekulasi. Laporan tahunan Edelman Trust Barometer secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik global terhadap berbagai institusi—termasuk brand, media, dan bahkan "influencer"—terus mengalami penurunan. Salah satu pendorong utama dari erosi kepercayaan ini adalah komunikasi yang terasa tidak otentik, tidak transparan, dan tidak manusiawi.
Studi Kasus: Yang Membangun Tembok vs. Yang Membangun Jembatan
Mari kita lihat beberapa skenario yang diadaptasi dari praktik-praktik nyata di industri.
Kasus 1: "Brand X", Si Raksasa Teknologi yang Tak Punya Telinga
Sebuah brand teknologi raksasa, sebut saja "Brand X", meluncurkan sebuah produk smartphone baru yang sangat dinanti-nantikan. Mereka menghabiskan budget miliaran rupiah untuk iklan di semua platform. Namun, setelah produknya sampai di tangan konsumen, ternyata ada sebuah bug software yang cukup mengganggu.
Ribuan pelanggan yang kecewa membanjiri kolom komentar Instagram dan Twitter resmi "Brand X" dengan keluhan dan pertanyaan. Respons yang mereka dapatkan? Keheningan total. Atau balasan template dari admin yang hanya menyuruh mereka untuk "mengisi formulir keluhan di website kami." Mereka gagal total melihat lautan feedback gratis yang sangat berharga ini sebagai sebuah kesempatan. Akibatnya, sentimen negatif menyebar dengan cepat, tagar #BugBrandX menjadi trending, dan citra peluncuran produk yang tadinya positif menjadi hancur.
Kasus 2: "CEO Turun Gunung" yang Legendaris
Ibu Dian, CEO dari sebuah startup SaaS (Software as a Service) B2B yang sedang bertumbuh pesat, memiliki sebuah kebiasaan yang tidak biasa bagi seorang CEO. Setiap hari Jumat sore, ia secara pribadi meluangkan waktu satu jam, yang ia sebut "Sesi Mendengarkan", untuk melakukan satu hal: scrolling di Twitter dan LinkedIn, mencari mention tentang perusahaannya, dan secara pribadi membalas beberapa di antaranya.
Ia tidak hanya membalas pujian. Justru sebaliknya, ia paling sering membalas keluhan atau kritik. Tindakan kecil ini memberikan dampak yang luar biasa. Para pelanggan merasa kaget dan sangat dihargai karena keluhan mereka didengar langsung oleh orang nomor satu di perusahaan. Cerita-cerita tentang "CEO yang turun gunung" ini menyebar dari mulut ke mulut dan menjadi bagian legendaris dari Digital Branding perusahaannya yang otentik.
Filosofi Komunikasi di Nexvibe: "Human-to-Human First"
Di Nexvibe, meskipun mereka adalah sebuah perusahaan teknologi yang sehari-hari berurusan dengan API, server, dan kode yang rumit, prinsip utama dalam komunikasi eksternal mereka sangatlah sederhana: Human-to-Human First.
Akun-akun media sosial resmi perusahaan, misalnya, sama sekali tidak pernah diizinkan untuk menggunakan balasan otomatis atau chatbot. Setiap DM atau komentar yang masuk, sebanyak apapun itu, dibaca dan dibalas oleh seorang anggota tim manusia. Tim Content Marketing juga didorong untuk menulis artikel blog (seperti yang sedang Anda baca ini) dengan suara yang otentik dan personal, bukan dengan bahasa korporat yang kaku dan menjaga jarak. Berdasarkan data internal mereka, sejak strategi ini diterapkan secara konsisten, tingkat engagement per postingan (terutama jumlah komentar yang bermakna) berhasil meningkat hingga 60%, dan mereka juga menerima lebih banyak inbound lead yang berkualitas dari para profesional yang menghargai pendekatan mereka yang personal dan tidak robotik.
Kesimpulan: Jangan Jadi Robot, Dunia Sudah Punya Cukup Banyak
Bro, Artificial Ignorance adalah sebuah wabah yang sedang menyebar secara diam-diam. Sebuah penyakit di mana kita, para penghuni dunia digital, secara sadar atau tidak sadar, memilih untuk menjadi dingin, menjaga jarak, dan mengautomasi ketidaktulusan demi mengejar efisiensi atau menjaga status.
Ini adalah sebuah permainan yang jika semua orang terus memainkannya, maka pada akhirnya semua orang akan kalah. Karena di balik setiap follow, setiap like, dan setiap komentar, ada sebuah kebutuhan manusiawi yang paling mendasar yang sedang kita cari: koneksi.
Dan koneksi sejati tidak akan pernah bisa diotomatisasi.
Jadi, ini tantangan buat lo. Lain kali lo merasa diabaikan atau menerima balasan robotik dari sebuah "akun besar", jangan marah atau berkecil hati. Kasihani saja mereka karena telah kehilangan sentuhan kemanusiaannya. Lalu, alihkan energi lo. Cari satu orang di lingkaran lo—mungkin seorang kreator kecil yang sedang berjuang, atau seorang junior di tim lo—yang mungkin sedang merasa "diabaikan", dan kirimkan mereka sebuah pesan atau komentar yang tulus, spesifik, dan manusiawi.
Putuskan siklus Artificial Ignorance ini, mulai dari diri lo sendiri, hari ini. Karena di dunia yang akan semakin dipenuhi oleh robot, menjadi manusia seutuhnya adalah sebuah tindakan pemberontakan yang paling radikal dan paling dibutuhkan.